Aku tidak tahu. Maka
dari itu aku menuliskannya. Aku hanya ingin terjaga tidak berlebihan dari
dimensi yang kau buat untukku. Aku ingin mengakui bahwa aku bukanlah pakarnya ketika
mimpi dan harapan hanya sekadarnya. Yang aku tahu, untuk mengungkapkannya tidak membutuhkan kamus. Kebetulan pengacara-pengacara tak ada yang tahu siapa
tersangkanya.
Setahun aku mengenalmu, aku hanya bisa memberikanmu sesuatu yang ku anggap kau
menyukainya. Perlahan menjauh, entah karena keinginanku tak punya titik temu
dengan keinginanmu : Tak ada titik equilibriumnya.
Katakan bila kau
pun ingin berada dekat dengan langit. Lakukan saja bila kau memiliki
mimpi-mimpi yang menyenangkan. Jangan menganggap bahwa dirimu saja yang pernah
terluka. Untuk itulah aku datang. Sebenarnya berterimakasihlah pada “Luka”. Jangan
takut karena terluka. Jika terluka itu
rasanya sakit, maka janganlah melukai orang lain. Luka itu cukup mendewasakan.
Aku juga tidak
tahu. Aku hanya sedang mencari lalu menemukan. Melihatmu, lalu yang tergugah yang
berada di kedalaman yang paling dalam. Tak bolehkah aku datang dengan cara yang
baik ? Terkesan meragukan ? entah kebanyakan orang sepertimu belajar dimana,
fokus pada makna modus, makna ketulusan menjadi tak lagi berharga. Khilaf
memang begitu, yang serius diragukan, yang bercanda diluangkan.
Aku ingin selalu
mengajakmu untuk terus bersyukur. Mungkin banyak yang tak menyadari, bahwa
walaupun malam, selalu ada pelangi setelah hujan. Mungkin seperti itulah,
banyak yang hanya bersyukur bila menikmati (melihat) karunia-Nya. Tuhan selalu memberikan
pelajaran di setiap kejadian. Semoga saja, kita bisa memahaminya bukan hanya
dari nadanya melainkan juga memahami ritmenya.
Aku benar-benar
tidak tahu. Jangan menghakimiku, aku bukan hanya bercerita tentang diriku, bukan hanya bercerita
tentangmu, namun juga bercerita tentangnya dan bercerita tentang mereka. Aku hanya
ingin berpikir berlaku adil. Ataukah kau lebih tahu tentang arti menulis ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar