Senin, 30 September 2019

"Rumit"

Aku tidak tahu. Maka dari itu aku menuliskannya. Aku hanya ingin terjaga tidak berlebihan dari dimensi yang kau buat untukku. Aku ingin mengakui bahwa aku bukanlah pakarnya ketika mimpi dan harapan hanya sekadarnya. Yang aku tahu, untuk mengungkapkannya tidak membutuhkan kamus. Kebetulan pengacara-pengacara tak ada yang tahu siapa tersangkanya.



Setahun aku mengenalmu, aku hanya bisa memberikanmu sesuatu yang ku anggap kau menyukainya. Perlahan menjauh, entah karena keinginanku tak punya titik temu dengan keinginanmu : Tak ada titik equilibriumnya.

Katakan bila kau pun ingin berada dekat dengan langit. Lakukan saja bila kau memiliki mimpi-mimpi yang menyenangkan. Jangan menganggap bahwa dirimu saja yang pernah terluka. Untuk itulah aku datang. Sebenarnya berterimakasihlah pada “Luka”. Jangan takut karena terluka. Jika  terluka itu rasanya sakit, maka janganlah melukai orang lain. Luka itu cukup mendewasakan.  

Aku juga tidak tahu. Aku hanya sedang mencari lalu menemukan. Melihatmu, lalu yang tergugah yang berada di kedalaman yang paling dalam. Tak bolehkah aku datang dengan cara yang baik ? Terkesan meragukan ? entah kebanyakan orang sepertimu belajar dimana, fokus pada makna modus, makna ketulusan menjadi tak lagi berharga. Khilaf memang begitu, yang serius diragukan, yang bercanda diluangkan.

Aku ingin selalu mengajakmu untuk terus bersyukur. Mungkin banyak yang tak menyadari, bahwa walaupun malam, selalu ada pelangi setelah hujan. Mungkin seperti itulah, banyak yang hanya bersyukur bila menikmati (melihat) karunia-Nya. Tuhan selalu memberikan pelajaran di setiap kejadian. Semoga saja, kita bisa memahaminya bukan hanya dari nadanya melainkan juga memahami ritmenya.    

Aku benar-benar tidak tahu. Jangan menghakimiku, aku bukan hanya bercerita tentang diriku, bukan hanya bercerita tentangmu, namun juga bercerita tentangnya dan bercerita tentang mereka. Aku hanya ingin berpikir berlaku adil. Ataukah kau lebih tahu tentang arti menulis ?.